Kiai Kholil :Sang Maha Guru dari Madura
Kamis, 24 Oktober 2013
0
komentar
KH Kholil Bangkalan Madura lahir pada Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Bahkan setelah menginjak usia remaja,Mbah Holil berdiam di Mekkah selama belasan tahun untuk belajar ilmu Islam.Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Kiai Kholil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Kholil. Memang, Kiai Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Kholil diantaranya: Pertama, Kiai Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi Masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Kholil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Pada perkembangannya kemudian, Kiai Holil juga berperan besar dalam pendirian Jama'iyah NU. Ikhwal diceritakan, bahwa NU diawali oleh sebuah kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Kiai Kholil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu. Bacakanlah kepada Kiai Hasyim AYAT 17-23 QS THAHA
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Kholil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan asmak YA JABBAR, YA QAHHAR (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”. Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Kholil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kiai Kholil :Sang Maha Guru dari Madura
Ditulis oleh Lakpesdam NU Sampang
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://profillakpesdamsampang.blogspot.com/2013/10/sang-maha-guru-dari-madura.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Lakpesdam NU Sampang
Rating Blog 5 dari 5